jadilah analis LMM yang sudah berpengalaman ini, analisis secara mendalam, bedah satu satu, tulisan yang saya bagikan di bawah ini :
.
Minggu ini, kita bakal bahas sesuatu yang sering banget dilupain orang saat belajar AI: LLM projects.
AI itu bukan cuma buat bikin tulisan artikel atau bales email, tapi lo harus jadikan AI semacam laboratorium berfikir yang bikin lo paham cara kerja intelligence, baik alami maupun buatan.
Insight utama minggu ini:
Ngerjain project AI itu bukan cuma soal “bisa pakai ChatGPT”, tapi soal belajar mikir kayak AI systems engineer.
Masalah kebanyakan orang: single chat mindset
Kebanyakan user pakai AI kayak app biasa:
buka ChatGPT
tanya sesuatu
dapet jawaban
close tab
Setiap sesi = mulai dari nol. Gak ada memory, gak ada konteks, gak ada sistem.
Pakai AI Cara AFP: bangun persistent environment buat mikir
Alih-alih cuma “pakai” AI, kita bangun thinking system, tempat kita nyimpen pengetahuan, strategi, dan cara mikir yang bisa berkembang dari waktu ke waktu.
Bayangin kayak bikin operating system buat otak lo.
Analogi OS:
File system → struktur data yang tertata
System process → proses latar belakang yang jalan otomatis
User permissions → kontrol akses informasi
Memory allocation → alokasi konteks yang efisien
App interface → komunikasi antar fungsi
LLM projects juga gitu:
Context files = knowledge base
System prompts = rules utama
Access controls = kapan & gimana data dipanggil
Context window management = cara ngatur “RAM” AI
Prompt interface = cara lo ngobrol sama AI pake logic yang terstruktur
Hal-hal yang lo pelajari dari LLM Project:
1. Context window economics
LLM punya “RAM” terbatas. Setiap token penting.
Tips:
Jangan load info yang gak relevan. Buang file-file yang gak kepake biar konteks bersih.
2. Attention mechanism behavior
AI fokus ke data yang “kelihatan penting”.
Tips:
Nama file, urutan prompt, dan struktur data ngaruh ke apa yang AI perhatiin.
3. Expertise activation patterns
Punya file ≠ langsung dipakai AI.
Tips:
Prompt lo harus eksplisit. Contoh:
✅ “Gunakan
client_onboarding_checklist.json
untuk analisa klien ini”
❌ “Tolong bantu onboarding klien baru”
Studi kasus: struktur project untuk agensi SEO
System prompt (alias OS kernel):
“You are the core of my SEO agency. You have access to strategies, client data, and proven playbooks. Always reference specific files and prioritize actionable advice.”
Struktur file:
📁 Strategy:
seo_audit_method.json
content_plan_blueprint.json
keyword_research_guide.json
📁 Client data:
client_onboarding.json
common_problems_solutions.json
📁 Ops:
quality_control.json
pricing_template.json
📁 Performance:
case_studies.json
top_keywords.json
Skills (alias prompt command):
/audit → pakai seo_audit_method.json dan technical_seo_checklist.json
/strategy → pakai content_plan_blueprint.json
/onboard → pakai client_onboarding.json
File naming = PENTING BANGET
Ini terlihat simpel. Tapi efeknya signifikan banget! Jangan bikin nama random waktu lo bikin context profile biar AI bisa refer dengan mudah. contoh:
❌ notes.json
✅ competitor_analysis_framework.json
❌ seo_stuff.json
✅ technical_seo_implementation_checklist.json
Gunakan struktur seperti:
01_client_onboarding.json
02_strategy_planning.json
03_execution_guideline.json
Kenapa penting? Karena saat lo bilang:
“Gunakan technical_seo_implementation_checklist.json”
…AI langsung tahu expertise mana yang harus diaktifkan.
Workflow yang sistematis:
Information design: susun data kayak bikin knowledge base
Deliberate access: semua prompt harus referensi file
Iterative refinement: tes kombinasi file mana yang kasih output paling bagus
Scalable structure: tambah file baru yang nyambung ke struktur lama